Busana yang kukenakan saat ini adalah produk impor dari luar negeri, aku
membelinya di mall terbesar kota ini, kaos ketat tanpa lengan
menampakkan tonjolan payudaraku yang menantang, dan rok span mini
menjadikanku tampak seksi seperti selebriti di televisi. -Ah, bukankah
tak lama lagi aku akan masuk TV?.
Masih jam delapan lewat lima, belum saatnya menebus dosa.
Pagi yang cerah, sepagi ini sengatan matahari sudah seperti api –panas sekali-. Aku menunggu seseorang di lobby hotel, duduk di sofa empuk yang dilapisi bulu-bulu domba yang konon katanya dari padang sahara –sofa terempuk yang pernah kududuki-, di sampingku kulihat beberapa laki-laki setengah baya melirik nakal kearahku, aku mengerlingkan mataku untuk membalas kedipan mata nakal mereka.
Sudah setengah Sembilan, tak seperti yang telah dijanjikan, orang yang kutunggu belum juga datang, aku menggerutu, tak enak sekali rasanya menunggu seseorang di lobby hotel dengan pakaian terbuka seperti ini, aku tak terbiasa, tapi mau bagaimana lagi? Hanya inilah caraku menebus dosa. Kalian pasti tak percaya, ini baru pertama kalinya aku masuk hotel, dan ini juga pertama kalianya aku memakai pakaian serba mini di tempat umum, you can see istilah kerennya, dan kalian akan tidak percaya lagi jika kukatakan bahwa dulu aku bercadar, karena sebenarnya statusku saat ini masih santriwati di sebuah pondok pesantren putri, aku tahu, kalian pasti akan berkata Naudzubillah atau Astaghfirullah dalam hati.
Namaku Imroah, aku datang ke hotel ini untuk menebus dosa.
Bukannya aku tak tahu kalau membuka aurat didepan umum malah menambah dosa, tetapi aku yakin, inilah salah satu caraku untuk menghapus dosa-dosaku yang telah lalu. Oleh karena itu, kalian jangan salah paham dulu, diamlah dan dengarkan ceritaku.
Di dunia ini, aku yakin tak ada seorangpun yang ingin hidup menderita, semua orang pasti ingin hidup bahagia, begitupun aku. Kata orang, kehidupan bagaikan roda yang terus berputar, adakalanya kita berada diatas, dan adakalanya kita berada di bawah. Namun bagiku, hidup ini bagaikan gelombang-gelombang lautan yang membawa kesialan tanpa henti, hidupku penuh dengan penderitaan, roda kehidupanku tak pernah berputar, aku merasa tak pernah bahagia.
Hidupku adalah kutukan, bahkan kelahiranku ke dunia inipun sangat tidak diharapkan. Secara tak sengaja aku mengetahui asal-usulku ketika wisuda TK, saat itu usiaku meninggalkan balita (bawah lima tahun), bisikan ibu-ibu yang menghadiri prosesi wisuda lamat kudengar; “kasihan sekali Imroah, sudah lulus TK tapi ibunya belum bertobat menjadi pelacur”. Kurasakan dunia begitu gelap, aku langsung ingin menangis, tetapi aku tahan. Selama ini aku memang tak tahu siapa ibuku, aku tinggal di sebuah yayasan panti asuhan.
Jam delapan empat puluh lima, orang yang kutunggu masih belum datang.
Lobby hotel semakin ramai, kulihat bule-bule luar negeri berdatangan untuk check in di hotel ini, aku tersenyum, pakaian mereka tak jauh beda dengan pakaianku saat ini –sama-sama mini, sama-sama seksi. Tiba-tiba aku dikagetkan dengan suara handphoneku yang bergetar didalam dompet kecilku –handphone yang kucuri seminggu lalu-, sebuah SMS dari orang yang dari tadi kutunggu, ah, Ia meminta maaf terlambat katanya, kutanyakan padanya apakah kesepakatan ditunda?, dan kuingatkan padanya untuk tidak menggagalkan rencana.
Kalian juga pasti tak percaya bahwa aku adalah seorang pencuri. Rambutku sudah sering digundul karena kedapatan mencuri uang dan barang-barang temanku di pondok putri, bahkan aku hampir saja dikeluarkan dari pesantren karena perbuatanku sudah keterlaluan, namun aku mempunyai bakat bersandiwara, dengan beberapa tetes air mata, pengasuh asramaku merasa iba –ah, mereka tentu saja tak tega mengusirku, di pondok saja aku sudah jadi mafia, mau jadi apa aku nantinya di luar sana?, mungkin begitu pikir mereka.
Namun sebenarnya bukan hanya karena pandai bersandiwara yang membuatku tetap aman di pesantren itu. Suatu hari, pondok putri gempar karena uang seorang santriwati hilang, akulah yang dicurigai, dituduh menjadi tersangka utama -toh, sebenarnya memang aku yang mencuri-, sejak malam itu aku dipindahkan ke kamar ustadzah bagian keamanan, semenjak itu pula aku merasa terkekang, sekamar berdua dengan kepala keamanan yang terkenal kejam, namun aku selalu mencari cara untuk kembali dipindahkan ke kamar teman-teman.
Suatu malam, ketika lampu kamarku sudah dipadamkan, kulihat ustadzah ketua keamanan sudah terlelap didalam selimut, tiba-tiba terbesit ide brilian dalam otakku, kusingkap selimut ustadzah itu, Ia tidur mendengkur, kusingkap rok yang dipakainya, kubelai pahanya hingga Ia kegelian dan menggeliat tak tahan, belaian tanganku semakin kunaikkan hingga selangkangan, kulirik matanya sudah terbuka tak terpejam, namun tetap kulanjutkan aksiku –aku berharap Ia akan marah, lalu esok memindahkan aku kembali ke kamarku yang dulu-, namun Ia malah menuntun tanganku menuju sebuah lubang. Arghhhhhhhhhhh…Ia berteriak seperti harimau yang sedang menerkam. Semenjak malam itu aku dipatenkan menjadi penghuni tetap kamar keamanan, aku tak menyangka jika ustadzah ketua keamanan itu akan ketagihan, bahkan Ia mengatakan bahwa Ia mencintaiku. Pyuh!
Sudah hampir jam Sembilan, orang yang kutunggu belum juga datang, padahal sesuai kesepakatan, jam sepuluh aku sudah harus pergi.
Tak ada seorangpun yang ingin hidup sebagai pesakitan, sepanjang hidupnya selalu dicerca dan dijadikan kambing hitam. Begitupun aku, aku bosan menjadi pesakitan, aku kabur dari pesantren, -tidak kabur sebenarnya, karena aku sempat minta ijin untuk pulang-, aku ingin menelusuri asal-usulku, ku interogasi semua petugas panti asuhan tempat aku dibesarkan, awalnya mereka bungkam, namun dengan sedikit bentakan, mereka memberiku sebuah alamat, -yang setelah kutelusuri, ternyata sebuah tempat pelacuran.
Dengan masih mengenakan daster panjang lengkap dengan jilbab, kudatangi tempat pelacuran itu, aku tahu saat itu semua orang memandangku, tapi aku tak peduli. Seorang perempuan seksi mendatangiku, “Assalamu’alaikum mbak, mau cari siapa?”, ucapnya genit sambil mengepulkan asap rokoknya ke wajahku. Tak lama kemudian seorang perempuan paruh baya berdandan menor datang menyusulnya menghampiriku, wajahnya hampir mirip denganku, perasaanku mengatakan dialah ibuku, kucium perempuan itu, sebagai seorang ibu, aku yakin pasti Ia merasakan bahwa akulah anaknya yang perbah Ia telantarkan, sejak itulah aku benar-benar yakin kalau ibuku adalah seorang pelacur high class. Namun entah mengapa aku malah bahagia, merasa menemukan alasan atas kesialan-kesialan hidupku selama ini. –adalah hal yang wajar jika anak seorang pelacur menjadi pelacur juga. Toh, buah tak pernah jatuh jauh dari pohonnya-.
Jam sembilan lewat lima. Seorang pemuda tampan menawariku rokok, aku menggeleng, lalu dia mulai berbasa-basi menanyakan nama, kujawab saja namaku Jameela, dia tertawa, katanya namaku mirip penyanyi papan atas Indonesia, kujawab saja tak lama lagi aku juga akan terkenal melebihi si Jameela, lagi-lagi dia tertawa, kali ini menampakkan gigi kuningnya.
Orang yang kutunggu tak kunjung datang, aku mulai tak tenang. Namun tak lama kemudian kulihat seorang laki-laki bertopi muncul dari pintu keluar-masuk hotel, dia mendorong sebuah koper besar di tangan, juga tas gendong yang bergelantung di lengan kanan, walaupun wajahnya agak sedikit tertutup topi, tapi aku bisa mengenalinya,orang yang sudah satu bulan ini menjadi pembimbingku, dan telah banyak memberiku ilmu, namanya ustadz Leman.
“Imroah, aku tahu kalau hidupmu selalu dirundung kesialan”, ucap ustadzah kepala keamanan suatu malam setelah kami berhubungan badan. “aku akan mengenalkanmu dengan seorang teman, mungkin dia bisa membantumu keluar dari persoalan hidup yang selalu membelenggumu”, aku menggangguk pelan tanda setuju, kemudian ustadzah itu mengecup keningku.
Aku sudah benar-benar bosan dengan hidupku saat ini, selalu dijadikan kambing hitam dalam setiap persoalan, setiap ada masalah, pasti yang dituduh adalah Imroah, bukan yang lain, untung saja aku sedikit terselamatkan oleh hubungan spesialku dengan ustadzah kepala keamanan, dialah yang akhir-akhir ini sedikit membantu dan melindungiku setiap ada masalah, seperti ketika aku diperkenalkan dengan ustadz Leman.
“Mbak Imroah, kalau mbak mau dan sanggup, saya bisa membantu sampeyan”, kata ustadz Leman setelah kami diperkenalkan ustadzah kepala keamanan, “tapi ya itu mbak, untuk menghapus kesialan-kesialan hidup mbak, mbak Imroah harus berkorban”, kulihat kedua mata ustadz Leman jelalatan memandangi tubuhku, ustadzah kepala keamanan hanya tersenyum. “Apa yang harus saya korbankan, ustadz?”, -saat itu aku benar-benar tak sabar untuk merubah hidupku yang penuh dengan kesialan, penderitaanku sudah sangat dalam-, ustadz Leman tersenyum, “korbankan tubuh mbak, yakinlah, kesialan mbak akan segera berakhir”, aku seperti terbius dengan kata-katanya.
“Yang paling penting mbak, adalah niatnya, niat mbak itu mulia, ingin hidup lebih baik. Walaupun yang akan mbak lakukan sebenarnya itu sedikit berdosa, tapi dosa itu akan terhapus oleh pahala kebaikan yang berlipat-lipat jumlahnya, dan satu lagi, mbak akan terkenal”. Aku tersenyum, nasihatnya membuat tekadku semakin bulat. “Oiya mbak, kalau bisa mbak memakai dandanan menor model anak muda yang lagi nge-trend saja, biar nantinya tidak ada yang curiga”, kata ustadz Leman sebelum kami berpisah dan telah membuat kesepakatan, kami bertukar nomor handphone, kebetulan sekali waktu di angkot tadi aku mengambil handphone dari tas seorang bapak yang ketiduran.
Ustadz Leman tersenyum menghampiriku di kursi tunggu lobby hotel, “maaf mbak, saya terlambat, ada sedikit masalah yang harus saya selesaikan”, katanya langsung meminta maaf, “tapi rencana kita jadi khan?”, tanyaku kemudian, ustadz Leman tersenyum sambil mengerlingkan matanya, “tak lama lagi, mbak akan merasakan indahnya surga”, katanya.
Jam sepuluh kurang tiga menit…
Ustadz Leman memberikan tas yang ada dilengannya padaku, “baiklah mbak, kalau begitu saya akan naik ke lantai dua duluan, mbak tetap di sini, nanti kita akan bertemu di sana”, aku mengngguk tersenyum, kugendongkan tas yang disodorkan ustadz Leman, “kodenya tetap sama sesuai perjanjian”, kata ustadz Leman setengah berteriak karena sudah akan menaiki tangga menuju lantai dua.
Jam sepuluh tepat, tak lebih, tak kurang…
BHANGGGG…
Kalian telah saksikan sendiri dalam rekaman-rekaman di televisi, seorang perempuan dengan pakaian you can see dan seorang laki-laki bertopi meledakkan diri di lobi sebuah hotel, seratus tujuh puluh sembilan orang mati.
Sekarang aku jadi terkenal, begitulah caraku menebus dosa, membuang kesialan, kata ustadz Leman, aku pasti masuk surga.[*]
Masih jam delapan lewat lima, belum saatnya menebus dosa.
Pagi yang cerah, sepagi ini sengatan matahari sudah seperti api –panas sekali-. Aku menunggu seseorang di lobby hotel, duduk di sofa empuk yang dilapisi bulu-bulu domba yang konon katanya dari padang sahara –sofa terempuk yang pernah kududuki-, di sampingku kulihat beberapa laki-laki setengah baya melirik nakal kearahku, aku mengerlingkan mataku untuk membalas kedipan mata nakal mereka.
Sudah setengah Sembilan, tak seperti yang telah dijanjikan, orang yang kutunggu belum juga datang, aku menggerutu, tak enak sekali rasanya menunggu seseorang di lobby hotel dengan pakaian terbuka seperti ini, aku tak terbiasa, tapi mau bagaimana lagi? Hanya inilah caraku menebus dosa. Kalian pasti tak percaya, ini baru pertama kalinya aku masuk hotel, dan ini juga pertama kalianya aku memakai pakaian serba mini di tempat umum, you can see istilah kerennya, dan kalian akan tidak percaya lagi jika kukatakan bahwa dulu aku bercadar, karena sebenarnya statusku saat ini masih santriwati di sebuah pondok pesantren putri, aku tahu, kalian pasti akan berkata Naudzubillah atau Astaghfirullah dalam hati.
Namaku Imroah, aku datang ke hotel ini untuk menebus dosa.
Bukannya aku tak tahu kalau membuka aurat didepan umum malah menambah dosa, tetapi aku yakin, inilah salah satu caraku untuk menghapus dosa-dosaku yang telah lalu. Oleh karena itu, kalian jangan salah paham dulu, diamlah dan dengarkan ceritaku.
Di dunia ini, aku yakin tak ada seorangpun yang ingin hidup menderita, semua orang pasti ingin hidup bahagia, begitupun aku. Kata orang, kehidupan bagaikan roda yang terus berputar, adakalanya kita berada diatas, dan adakalanya kita berada di bawah. Namun bagiku, hidup ini bagaikan gelombang-gelombang lautan yang membawa kesialan tanpa henti, hidupku penuh dengan penderitaan, roda kehidupanku tak pernah berputar, aku merasa tak pernah bahagia.
Hidupku adalah kutukan, bahkan kelahiranku ke dunia inipun sangat tidak diharapkan. Secara tak sengaja aku mengetahui asal-usulku ketika wisuda TK, saat itu usiaku meninggalkan balita (bawah lima tahun), bisikan ibu-ibu yang menghadiri prosesi wisuda lamat kudengar; “kasihan sekali Imroah, sudah lulus TK tapi ibunya belum bertobat menjadi pelacur”. Kurasakan dunia begitu gelap, aku langsung ingin menangis, tetapi aku tahan. Selama ini aku memang tak tahu siapa ibuku, aku tinggal di sebuah yayasan panti asuhan.
Jam delapan empat puluh lima, orang yang kutunggu masih belum datang.
Lobby hotel semakin ramai, kulihat bule-bule luar negeri berdatangan untuk check in di hotel ini, aku tersenyum, pakaian mereka tak jauh beda dengan pakaianku saat ini –sama-sama mini, sama-sama seksi. Tiba-tiba aku dikagetkan dengan suara handphoneku yang bergetar didalam dompet kecilku –handphone yang kucuri seminggu lalu-, sebuah SMS dari orang yang dari tadi kutunggu, ah, Ia meminta maaf terlambat katanya, kutanyakan padanya apakah kesepakatan ditunda?, dan kuingatkan padanya untuk tidak menggagalkan rencana.
Kalian juga pasti tak percaya bahwa aku adalah seorang pencuri. Rambutku sudah sering digundul karena kedapatan mencuri uang dan barang-barang temanku di pondok putri, bahkan aku hampir saja dikeluarkan dari pesantren karena perbuatanku sudah keterlaluan, namun aku mempunyai bakat bersandiwara, dengan beberapa tetes air mata, pengasuh asramaku merasa iba –ah, mereka tentu saja tak tega mengusirku, di pondok saja aku sudah jadi mafia, mau jadi apa aku nantinya di luar sana?, mungkin begitu pikir mereka.
Namun sebenarnya bukan hanya karena pandai bersandiwara yang membuatku tetap aman di pesantren itu. Suatu hari, pondok putri gempar karena uang seorang santriwati hilang, akulah yang dicurigai, dituduh menjadi tersangka utama -toh, sebenarnya memang aku yang mencuri-, sejak malam itu aku dipindahkan ke kamar ustadzah bagian keamanan, semenjak itu pula aku merasa terkekang, sekamar berdua dengan kepala keamanan yang terkenal kejam, namun aku selalu mencari cara untuk kembali dipindahkan ke kamar teman-teman.
Suatu malam, ketika lampu kamarku sudah dipadamkan, kulihat ustadzah ketua keamanan sudah terlelap didalam selimut, tiba-tiba terbesit ide brilian dalam otakku, kusingkap selimut ustadzah itu, Ia tidur mendengkur, kusingkap rok yang dipakainya, kubelai pahanya hingga Ia kegelian dan menggeliat tak tahan, belaian tanganku semakin kunaikkan hingga selangkangan, kulirik matanya sudah terbuka tak terpejam, namun tetap kulanjutkan aksiku –aku berharap Ia akan marah, lalu esok memindahkan aku kembali ke kamarku yang dulu-, namun Ia malah menuntun tanganku menuju sebuah lubang. Arghhhhhhhhhhh…Ia berteriak seperti harimau yang sedang menerkam. Semenjak malam itu aku dipatenkan menjadi penghuni tetap kamar keamanan, aku tak menyangka jika ustadzah ketua keamanan itu akan ketagihan, bahkan Ia mengatakan bahwa Ia mencintaiku. Pyuh!
Sudah hampir jam Sembilan, orang yang kutunggu belum juga datang, padahal sesuai kesepakatan, jam sepuluh aku sudah harus pergi.
Tak ada seorangpun yang ingin hidup sebagai pesakitan, sepanjang hidupnya selalu dicerca dan dijadikan kambing hitam. Begitupun aku, aku bosan menjadi pesakitan, aku kabur dari pesantren, -tidak kabur sebenarnya, karena aku sempat minta ijin untuk pulang-, aku ingin menelusuri asal-usulku, ku interogasi semua petugas panti asuhan tempat aku dibesarkan, awalnya mereka bungkam, namun dengan sedikit bentakan, mereka memberiku sebuah alamat, -yang setelah kutelusuri, ternyata sebuah tempat pelacuran.
Dengan masih mengenakan daster panjang lengkap dengan jilbab, kudatangi tempat pelacuran itu, aku tahu saat itu semua orang memandangku, tapi aku tak peduli. Seorang perempuan seksi mendatangiku, “Assalamu’alaikum mbak, mau cari siapa?”, ucapnya genit sambil mengepulkan asap rokoknya ke wajahku. Tak lama kemudian seorang perempuan paruh baya berdandan menor datang menyusulnya menghampiriku, wajahnya hampir mirip denganku, perasaanku mengatakan dialah ibuku, kucium perempuan itu, sebagai seorang ibu, aku yakin pasti Ia merasakan bahwa akulah anaknya yang perbah Ia telantarkan, sejak itulah aku benar-benar yakin kalau ibuku adalah seorang pelacur high class. Namun entah mengapa aku malah bahagia, merasa menemukan alasan atas kesialan-kesialan hidupku selama ini. –adalah hal yang wajar jika anak seorang pelacur menjadi pelacur juga. Toh, buah tak pernah jatuh jauh dari pohonnya-.
Jam sembilan lewat lima. Seorang pemuda tampan menawariku rokok, aku menggeleng, lalu dia mulai berbasa-basi menanyakan nama, kujawab saja namaku Jameela, dia tertawa, katanya namaku mirip penyanyi papan atas Indonesia, kujawab saja tak lama lagi aku juga akan terkenal melebihi si Jameela, lagi-lagi dia tertawa, kali ini menampakkan gigi kuningnya.
Orang yang kutunggu tak kunjung datang, aku mulai tak tenang. Namun tak lama kemudian kulihat seorang laki-laki bertopi muncul dari pintu keluar-masuk hotel, dia mendorong sebuah koper besar di tangan, juga tas gendong yang bergelantung di lengan kanan, walaupun wajahnya agak sedikit tertutup topi, tapi aku bisa mengenalinya,orang yang sudah satu bulan ini menjadi pembimbingku, dan telah banyak memberiku ilmu, namanya ustadz Leman.
“Imroah, aku tahu kalau hidupmu selalu dirundung kesialan”, ucap ustadzah kepala keamanan suatu malam setelah kami berhubungan badan. “aku akan mengenalkanmu dengan seorang teman, mungkin dia bisa membantumu keluar dari persoalan hidup yang selalu membelenggumu”, aku menggangguk pelan tanda setuju, kemudian ustadzah itu mengecup keningku.
Aku sudah benar-benar bosan dengan hidupku saat ini, selalu dijadikan kambing hitam dalam setiap persoalan, setiap ada masalah, pasti yang dituduh adalah Imroah, bukan yang lain, untung saja aku sedikit terselamatkan oleh hubungan spesialku dengan ustadzah kepala keamanan, dialah yang akhir-akhir ini sedikit membantu dan melindungiku setiap ada masalah, seperti ketika aku diperkenalkan dengan ustadz Leman.
“Mbak Imroah, kalau mbak mau dan sanggup, saya bisa membantu sampeyan”, kata ustadz Leman setelah kami diperkenalkan ustadzah kepala keamanan, “tapi ya itu mbak, untuk menghapus kesialan-kesialan hidup mbak, mbak Imroah harus berkorban”, kulihat kedua mata ustadz Leman jelalatan memandangi tubuhku, ustadzah kepala keamanan hanya tersenyum. “Apa yang harus saya korbankan, ustadz?”, -saat itu aku benar-benar tak sabar untuk merubah hidupku yang penuh dengan kesialan, penderitaanku sudah sangat dalam-, ustadz Leman tersenyum, “korbankan tubuh mbak, yakinlah, kesialan mbak akan segera berakhir”, aku seperti terbius dengan kata-katanya.
“Yang paling penting mbak, adalah niatnya, niat mbak itu mulia, ingin hidup lebih baik. Walaupun yang akan mbak lakukan sebenarnya itu sedikit berdosa, tapi dosa itu akan terhapus oleh pahala kebaikan yang berlipat-lipat jumlahnya, dan satu lagi, mbak akan terkenal”. Aku tersenyum, nasihatnya membuat tekadku semakin bulat. “Oiya mbak, kalau bisa mbak memakai dandanan menor model anak muda yang lagi nge-trend saja, biar nantinya tidak ada yang curiga”, kata ustadz Leman sebelum kami berpisah dan telah membuat kesepakatan, kami bertukar nomor handphone, kebetulan sekali waktu di angkot tadi aku mengambil handphone dari tas seorang bapak yang ketiduran.
Ustadz Leman tersenyum menghampiriku di kursi tunggu lobby hotel, “maaf mbak, saya terlambat, ada sedikit masalah yang harus saya selesaikan”, katanya langsung meminta maaf, “tapi rencana kita jadi khan?”, tanyaku kemudian, ustadz Leman tersenyum sambil mengerlingkan matanya, “tak lama lagi, mbak akan merasakan indahnya surga”, katanya.
Jam sepuluh kurang tiga menit…
Ustadz Leman memberikan tas yang ada dilengannya padaku, “baiklah mbak, kalau begitu saya akan naik ke lantai dua duluan, mbak tetap di sini, nanti kita akan bertemu di sana”, aku mengngguk tersenyum, kugendongkan tas yang disodorkan ustadz Leman, “kodenya tetap sama sesuai perjanjian”, kata ustadz Leman setengah berteriak karena sudah akan menaiki tangga menuju lantai dua.
Jam sepuluh tepat, tak lebih, tak kurang…
BHANGGGG…
Kalian telah saksikan sendiri dalam rekaman-rekaman di televisi, seorang perempuan dengan pakaian you can see dan seorang laki-laki bertopi meledakkan diri di lobi sebuah hotel, seratus tujuh puluh sembilan orang mati.
Sekarang aku jadi terkenal, begitulah caraku menebus dosa, membuang kesialan, kata ustadz Leman, aku pasti masuk surga.[*]
(Yogyakarta, Desember 2009)
Biodata Penulis:
)* Badrul Munir Chair, lebih dikenal dengan nama Munajat Sunyi, lahir di Ambunten-Sumenep (kota tua di timur daya Pulau Madura), 1 oktober 1990. Menulis cerpen dan puisi, salah satu cerpennya memperoleh juara pertama dalam sayembara penulisan cerpen inspiratif Ramadhan tingkat mahasiswa se-DIY 2009 (Piala Rektor), karya-karyanya masuk dalam sejumlah Antologi bersama, diantaranya antologi cerpen ”Di Pematang Pandanaran” dan beberapa antologi puisi, seperti ”Diorama” (antologi penyair tanpa bilangan kota), ”Antologi Puisi Penyair Nusantara Musibah Gempa Padang”, kumpulan cerpennya yang sudah terbit berjudul ”Bangkai dan Cerita-Cerita Kepulangan”. Kini melanjutkan studinya di jurusan Teologi dan Filsafat Fak. Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, aktif bergiat di Komunitas Matapena, dan Masyarakat Bawah Pohon Yogyakarta.
)* Badrul Munir Chair, lebih dikenal dengan nama Munajat Sunyi, lahir di Ambunten-Sumenep (kota tua di timur daya Pulau Madura), 1 oktober 1990. Menulis cerpen dan puisi, salah satu cerpennya memperoleh juara pertama dalam sayembara penulisan cerpen inspiratif Ramadhan tingkat mahasiswa se-DIY 2009 (Piala Rektor), karya-karyanya masuk dalam sejumlah Antologi bersama, diantaranya antologi cerpen ”Di Pematang Pandanaran” dan beberapa antologi puisi, seperti ”Diorama” (antologi penyair tanpa bilangan kota), ”Antologi Puisi Penyair Nusantara Musibah Gempa Padang”, kumpulan cerpennya yang sudah terbit berjudul ”Bangkai dan Cerita-Cerita Kepulangan”. Kini melanjutkan studinya di jurusan Teologi dan Filsafat Fak. Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, aktif bergiat di Komunitas Matapena, dan Masyarakat Bawah Pohon Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar